Sabtu pagi, seperti biasa ber Darmawisata ke pasar perumnas buat isi peti sejuk. Macet. Biasa kan ya kalo bengong pikiran kemana-mana. Di antara mikir apaan yang lupa dibeli dan klakson tetettoet dari belakang, terlintas lah 'tears in heaven' Eric Clapton.
Sampe sekarang kalo sedang sendirian dan bersenandung lagu ini, auto mbrebes mili alias berlinang. Kayak muter balik suasana kamis dini hari di 8 September 2011. Tiap ngak sengaja denger, pasti skip. Tapi namanya manusia ya, suka kek adiksi dengan rasa pilu. Kadang malah dengan sok iye nyanyiin sendiri. Terus nyesel karena mood nya malah kacau, iya itu aku. Kehilangan memang ngak pernah bisa dibawa santai, pulih mungkin, tapi tetap ada bagian dari diri yang kek lepas, gone!
Selain itu, ada satu lagi anthem yang bikin berlinang tapi jiwa perfeksionis ku agak ngak cocok tapi tetap sedih tapi ngak cocok. Bingung kan, iya, aku juga. Lagu rindu - keris patih. Pernah nangis sesegukan di mobil hampir tengah malam, gara-gara lagu ini pop up di radio. Kebayang keadaan pasca lahiran, yang ku tak pernah sama sekali gendong dengan alibi jahitan sesar sakit padahal memang ku takut. Terus sekarang nyesel, iya manusiawi.
"Embun pagi katakan padanya. Biar ku dekap erat waktu dingin membelenggunya".
Ingat sekali, di bagian ini nangis langsung kejer. Andai kemarin peluk sekali aja, ya :).
Yang lucunya, iya, selalu ada bagian lucu bahkan di saat tersedih hidup ku.
"Lagu rindu ini ku ciptakan, Hanya untuk bidadari hatiku tercinta"
Terus otak langsung mikir, eh anakku kan cowok, kok bidadari sih. Tapi tetap lanjut nangis, tapi kek ngak pas aja. Lagian kenapa pake gender sih lagunya coba kalo unisex, kan ku tak merasa aneh. Sedih tapi tetap insting autocorrect nyala,:'D.
Hampir 8 tahun pasca mood teraduk-aduk.
Eric Clapton's Tears in heaven masih terasa sama.
Would you know my name
If I saw you in heaven?
Would it be the same
If I saw you in heaven?
And I know there'll be no more tears in heaven
Tidak ada komentar:
Posting Komentar